Minggu, 18 Desember 2011

Mik Kikuk

Oh, jantungku, tenanglah. Ini cuma panggung, mereka cuma orang-orang biasa. Memang sih, ada pejabat daerah duduk di barisan terdepan, tapi mereka toh tak mungkin mencelaku terang-terangan bila aku tampak buruk di panggung.

Aku tak begitu cemas dengan tugasku memimpin penonton menyanyikan lagu Indonesia Raya. Aku tinggal menggerak-gerakkan tangan seperti yang pernah aku lakukan berpuluh tahun yang lalu, saat aku SD.  Tapi orang-orang dengan jabatan panitia ini tidak bilang bahwa aku harus mengeluarkan suaraku di atas sini!

Bagaimana kalau suaraku terlalu tinggi dan mencicit seperti tikus yang aku siram tadi malam?

Bagaimana kalau debar jantung ini mengalir hingga ke pita suara dan membuat suaraku bergetar gugup?

Serbuan pikiran-pikiran itu semakin membuat jantungku berdegup kencang.

Aku melangkah cepat ke tengah panggung. Berharap kaki-kaki ini menampung aliran darah yang dipompa jantungku.

Itu dia mike nya. Mik hitam berkaki yang terlalu tinggi. Aku menurunkannya sedikit sampai ke depan wajahku. Setelah menarik napas yang sedikit terlalu panjang, kedua tanganku terangkat, siap untuk memberi aba-aba.

“Hiduplah Indone..”

Oh, sial..kenapa suaraku tidak terdengar?

“Nyalain dulu mik nya..” Suara salah satu anggota paduan suara di belakangku setengah berbisik setengah berteriak.

Aku mencoba meraba tombol “on” yang aku pikir pastilah ada di bagian belakang mik ini tapi tak ketemu. Oh, sempurna sekali!

“Dimana?” kataku menoleh ke belakang, tak kalah berbisik dan tak kalah berteriak. Tapi ibu-ibu ini, tentu saja, tak bisa menolong.

Aku mengalihkan pandanganku lagi ke mik, mencoba mencari-cari di mana tombol “on” nya. Aku memencet-mencet, menggeser-geser segala tonjolan yang aku curigai sebagai tombol “on”, tapi tuduhanku salah semua. Tidakkah pabrik-pabrik mik ini punya kesepakatan menaruh tombol “on” di tempat yang terlihat?rutukku dalam hati.

Ditengah-tengah kepanikanku, aku mulai mencari sasaran lain, menyalahkan teknisi yang meletakkan mik ini di sini. Kenapa tak dipastikan terlebih dahulu kalau mik ini siap dipakai? Bagaimana kalau bukan aku, melainkan bapak terhormat dari kantor wilayah yang berdiri bingung di atas panggung ini?

Oh, cepatlah berlalu, seseorang selamatkan akuu…

Lalu, terdengarlah suara itu. Suara yang sangat merdu bagaikan dari surga. Di tengah-tengah suasana kikukku di atas panggung itu, di depan ratusan pasang mata yang menatapku sedang meng grepe-grepe mike, terdengar suara piano yang memainkan intro lagu Indonesia Raya.

Tuhan hanya memberiku waktu beberapa detik untuk kembali berdiri tegak, mengambil posisi dirigen dan memulai ketukan tepat dengan lagu yang dengan sigap dimainkan pemain piano di pinggir panggung. Intro lagu itu menggantikan suaraku untuk membimbing penonton agar bisa serempak bernyanyi.

Hei, jantungku sudah baik-baik saja sekarang! Aku bahkan cukup percaya diri untuk mengedarkan pandanganku ke seluruh penonton dan tersenyum sambil memberi aba-aba lagu Indonesia Raya sampai selesai.

“Wah, mantap tadi gerakannya!” kata seorang panitia begitu aku turun panggung.

Aku cuma tersenyum.

Eit, tunggu dulu.

Gerakan yang mana ya maksudnya? Mimpin lagunya atau grepe-grepe nya? Hhh..kalau begini rasanya jadi ingin getok kepala teknisi mik!
Oleh: Ita Juman
Ita Juman adalah nama pena dari Ni Made Riasnita. Lahir di Bandung, 28 April 1981, Ita menghabiskan masa kecilnya berpindah-pindah kota dan sekarang tinggal di Bali. Ita kini pemilik dan sekaligus menjadi tenaga pengajar di tempat belajar privat Kelas Bunda. Hobi menulisnya semakin ditekuni sejak Ita ingin berbagi pengalamannya mengajar di Kelas Bunda. Karyanya pernah menjadi salah satu dari 100 tulisan terbaik yang dibukukan dalam buku Mari Bicara, yang diselenggarakan oleh Sariwangi. Ita dapat dihubungi melalui email: ita_juman@yahoo.com

Kamis, 20 Oktober 2011

FLP Bali Curhat Bersama Mbak Di


Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 5 – 9 Oktober 2011 lalu memiliki kesan tersendiri bagi kami. Walaupun tidak mengikuti festival penulis internasional tersebut, tapi kami cukup senang karena bisa bertemu dengan mbak Di, panggilan akrab Rahmadianti Rusdi dan Jaladara dari FLP Hongkong. Sekarang mbak Di menjabat sebagai Sekretaris Jenderal FLP Pusat.

Rabu, 12 Oktober 2011

Ketika Bintang-bintang Pergi

Bintang sudah seminggu tiada. Ia meninggal sebab kanker ganas yang menggerogoti otaknya. Kepalanya yang pernah ditumbuhi rambut gondrong, keriting dan penuh cabang itu telah plontos  saat akan dikafani. Pencipta lagu handal itu, dengan syair-syair ciptaannya yang selalu menjadi tren di kalangan remaja, meninggal pada usia yang cukup. Cukup untuk dikatakan bahwa waktu telah habis untuknya, enam puluh lima tahun, penutup usia standar bagi manusia akhir zaman.

Selasa, 13 September 2011

Wahai Engkau yang Melihatku


“Tante Ningrum lho Mak, kemaren bagi-bagi duit seratus ribuan ke orang-orang!” Nur berseru sambil tangannya mencocolkan lontong ke sambal pencit buatannya sendiri. Kakinya menendang-nendang, mengusir seekor induk ayam dan anak-anaknya yang tertarik pada remah lontong di bawah meja bambu tempatnya makan.

“Masa?” sahut Mamak, lantas melanjutkan, “Iyaa..kan tante Ningrum banyak duit. Om Tiar kan kerjanya di luar negeri. Emangnya kita, buat makan aja susah.“  Sang nenek yang dipanggil Mamak oleh Nur ini berjongkok menyodok-nyodok kayu bakar ke dalam tungku, berusaha mempertahankan bara untuk membakar sepotong terasi.

Sabtu, 10 September 2011

Jangan Sakiti Aku (Lagi)!


Seorang anak berusia tak kurang dari 9 bulan tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Kepalanya terbalut perban, di samping ranjangnya sang ibu terus meneteskan air mata meski tak ada isak namun aku tahu, tanpa isak tangisnya justru begitu dalam.

Aku mencoba mendalami hatinya, bagaimana bila aku ada di posisinya? Melihat salah satu anak kembarku tak berdaya, pasti...pasti hati ini menjadi pesakitan karena tak mampu lagi melihatnya tersenyum, tertawa ataupun berlari bermain.

Ya...anak itu menjadi  pesakitan bukan karena terjatuh ketika bermain, atau keteledoran sang ibu, namun karena orang yang harusnya menjadi teladan, memberi kasih sayang padanya telah membantingnya ketika ia tertidur layaknya perkelahian “Smakdown”. Orang itu tak lain adalah Ayahnya. Ayah yang seharusnya menjaga dan melindunginya, namun justru meluapkan semua kekesalan, kemarahan karena masalah ekonomi pada anaknya yang tak tahu menahu.

Jumat, 09 September 2011

Cita-cita dan Tato

Suatu hari di rumah penuh cinta...

“Ma, besok aku fieldtrip,” kata Fathin sepulang sekolah.

“Kemana Kak?” tanyaku.

“Ke Kantor Pemadam Kebakaran!” jawabnya riang.

“Aku ikut, aku ikut,” rajuk kedua adiknya.

Dengan gaya sebagai seorang kakak yang bijaksana Fathin menjawab, “tidak boleh Dik, ini kegiatan sekolah kakak dan teman-teman. Entar kalo adik sudah sekolah, pasti diajak Bu Guru kesana”.

Adiknya mendengarkan dengan seksama dan rajukannya berubah menjadi, ”aku mau sekolah, aku mau sekolah.” Nah Lo!! Aku hanya bisa tersenyum sambil  geleng-geleng kepala menyaksikan ketiga buah hatiku.

Senin, 05 September 2011

Yang Terpilih

Bertepatan dengan puasa Arafah 9 Dzulhijjah 1430 H, Dompet Sosial Madani (DSM) Bali kehilangan satu pemuda andalan yang berkomitmen tinggi terhadap amanahnya. Saat puasa Arafah Allah SWT menginginkan ia untuk kembali ke hadapan Rabbnya...

Pagi itu ia datang ke kantor DSM yang di Denpasar (seakan-akan ingin mengucapkan selamat tinggal pada kami), mengambil uang untuk membayar hewan qurban. Bersama seorang teman naik motor dari Singaraja. Bercengkerama cukup lama dengan teman-teman yang lain, membahas idul qurban esok harinya. Siang kembali ke Singaraja, Allah sebaik-baik pengatur, di tengah perjalanan ia gemetar karena kedinginan. Ia meminta temannya untuk ganti menggonceng.