Jumat, 02 September 2011

Konspirasi Gretta

Gretta menarik rolling door tokonya dengan lemas. Suara rolling door yang berdecit membuat otak Gretta sedikit gatal.

“Dasar pintu karatan, sebaiknya kuminta ayah untuk segera menggantimu!”, gerutunya.

“Hmm, sudahlah, toh hari ini sudah cukup memuaskan. Penjualanku melambung, pasti ayah senang mendengarnya”, ia menyemangati dirinya sendiri.

Beranjaklah ia meninggalkan toko itu. Sebuah swalayan yang cukup besar untuk ukuran sebuah desa kecil. Seluruh penduduk desa sering berbelanja di sana, suasana yang nyaman dan barangnya yang cukup lengkap untuk ukuran desa membuat orang betah menyambanginya. Toko itu adalah milik ayah Gretta, Haji Sulaiman.

Haji Sulaiman adalah pendatang di desa itu. Namun ia adalah pahlawan desa, meski baru sekitar sepuluh tahun hidup bersama penduduk asli. Kedatangannya membawa berkah, dengan tangan dingin dan kekayaannya, ia munculkan keindahan desa yang tersembunyi. Sebuah bukit dengan pemandangan indah dijadikannya tempat wisata. Ia membeli tanah dari penduduk dan mendirikan villa-villa untuk turis. Ia janjikan berikan para penduduk pekerjaan di kerajaan pariwisatanya. Hampir seluruh penduduk bekerja di sektor pariwisata. Bahkan petani juga menjadi semakin makmur, bule-bule itu suka main di sawah para petani, dan uang pun mengalir deras ke petani-petani itu, hanya dari kunjungan bule.


“Ugh, rollingdoor berdecit, eh gerbang rumah ini ikutan juga berdecit, bikin otakku gatal saja!!”, kali ini ia memaki gerbang rumahnya yang cukup mewah itu.

“Sudah pulang sayang?”, sambut sebuah suara di depan pintu. Haji Sulaiman sedang duduk-duduk di teras rumahnya, menanti kepulangan putri tunggalnya.

“Hari ini toko lumayan rame Yah. Dan tahukan yang paling laku?”

“Coklat!”, Haji Sulaiman menjawab pertanyaan anaknya dengan pasti.

“Yeah right!”, senyum manis Gretta mengembang.

“Ayo ke dalam, istirahat dulu nak, Ayah sudah siapkan teh jahe kesukaanmu.”

Gretta menghempaskan punggungnya ke sofa yang empuk, tak ada tempat lain di desa itu yang senyaman rumahnya rumahnya.

“Penginapannya full booked Yah?”, Gretta memulai kembali pembicaraan, kali ini ditemani secangkir teh jahe bikinan ayahnya.

“Tentu saja, bukannya setiap tahun selalu begitu. Tanggal empat belas februari selalu istimewa buat mereka. Tapi tahun ini, ayah sudah menambah jumlah penginapan, dan tetap full booked!”

“Mimpi Ayah sudah tercapai sekarang kan, ya kan Yah?”

“Ini bukan mimpi Ayah, Gretta. Ini mimpi kita, mimpi kaum kita!!”

 “By the way Yah, seseorang mengajakku ke acara valentine di salah satu vila Ayah.”, Gretta mengubah topik pembicaraannya.

“Kamu mau?”

“Aku? Tentu tidak yah! Aku jijik dengan acara itu!”

“Bagus, kamu benar-benar tahu apa yang harus kamu lakukan. Kita tidak akan melayakan hari yang telah kita ciptakan di desa ini. Valentine hanya untuk mereka, orang-orang yang tertipu.”

“Dan kita tidak akan tertipu oleh tipuan kita sendiri kan yah?”

“Kamu benar-benar penerusku”, Haji Sulaiman nampak puas.

“Eh, Ayah gak capek pake baju itu, baju yang ayah benci?”, Gretta mencoba mengingatkan ayahnya.

“Ah, ayah lupa, baju ini nyaman juga, haha..”

Haji Sulaiman mengeluarkan sebuah kotak dari dalam lemarinya. Ada Kippah* dan Menorah** di dalam kotak itu. Kotak itu bertuliskan “Mr.Solomon”, nama asli Haji Sulaiman.

Sarung dan baju koko itu adalah kamuflase belaka, tak lebih dari itu.

*kippah : topi khas Yahudi
**Menorah : tempat lilin Yahudi
Oleh: Kaki Senja
Lelaki bernama asli Rizky Mukhlisin ini adalah ayah yang secara tak sengaja tercebur ke dunia kepenulisan. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai agen pengelola keangan negara dan keuangan musholla.

Follow Me on Twitter [at] kakisenja