Sabtu, 03 September 2011

Lelaki Hujan dan Mawar Putih

Aku menatap langit. Sekilas semburat kemerahan bercampur hitam menutupi kerlip bintang yang tadi riang-riang. Mendung kian menebal, barisan kendaraan di depanku yang berpacu dengan waktu hanya mampu bergerak perlahan mendekati lampu merah di persimpangan Tohpati. Perjalanan masih jauh, aku harus sampai di Ubud malam ini juga.

Kupacu sepeda motorku, meliuk-liuk diantara barisan mobil yang bergerak perlahan. Mendadak kaca helmku buram terkena percikan air, gerimis mulai turun. Sempurna, aku benci berhujan-hujan! Umpatku dalam hati.

Mataku yang kupaksa awas tiba-tiba menangkap sosok di kejauhan. Sosok itu berjalan lambat-lambat menuntun vespa yang sedikit miring ke kanan, menahan berat mesin. Aku telah menghapal sosoknya yang telah kurekam dalam otakku selama beberapa minggu terakhir. Itu memang dia. Lelaki itu.


Lampu sein motorku masih berkedap kedip ketika menghampirinya. Tak kuhiraukan klakson nyaring mobil di belakangku.

“Mogok?” Tanyaku.

“Iya.” Wajahnya sedikit terkejut. Mungkin tak menyangka akan bertemu aku di sini.

Guyuran hujan meningkahi suaraku, juga meningkahi langkah lelaki ini yang cepat-cepat masuk ke sebuah bengkel yang telah tutup. Aku memarkir sepeda motorku di sebelah vespanya. Hening.

“Nggak bawa jas hujan?”

“Nggak.”Ku sertakan gelengan kepala. Aku berbohong. Hening lagi.

Lelaki ini. Hujan. Aku pun tersenyum sembari melihat langit dengan hujan yang kian menderas.

Sejak awal firasatku berbisik bahwa dia adalah jodohku. Irama hujan membawa pikiranku menerawang ke tahun-tahun yang lalu, ketika aku merasakan desir iri saat melihat gadis di kelasku dengan ringannya melingkarkan tangan ke pinggang kekasihnya saat berboncengan. Ke tahun-tahun saat kami bergerombol waktu jam istirahat di depan kelas, mendengar cerita gadis paling cantik di sekolah tentang kencannya tadi malam di bioskop. Berbinar-binar. Aku hanya bisa menerka-nerka rasanya saat seorang lelaki perlahan menggenggam tanganku, mesra.

Aku menetapkan pilihanku pada seorang anak laki-laki di kelas. Berharap dialah yang akan mengajakku nongkrong di alun-alun sepulang bimbingan belajar, bercanda sambil minum es doger. Sayangnya, tak pernah terjadi. Dan aku mulai lelah menunggu.

Maka aku memutuskan mengorbankan telenovela kesukaanku. Menggantinya dengan doa-doa panjang setiap malam. Aku telah memikirkan masak-masak doa apa yang akan kupanjatkan. Setiap malam, beberapa puluh menit sebelum tidur, aku menengadahkan tangan pada-Nya.

Ya Tuhan, pertemukan aku dengan jodohku segera. Bila Kau telah pertemukan aku dengannya, berilah aku pertanda. Berilah aku pertanda hujan dan mawar putih. Aamiin.

Doa itu terus kuucapkan berulang-ulang. Hingga aku tertidur.

Sesekali aku bermimpi. Aku berdiri di tengah hujan, lalu sesosok lelaki datang membawakan aku setangkai mawar putih. Wajahnya tak pernah jelas terlihat. Meski begitu, aku bangun dengan bahagia. Suatu hari nanti aku pasti bertemu dengannya.

Doa pertanda jodohku masih aku ucapkan hingga beberapa tahun kemudian. Tak kurang bersungguh-sungguh aku ucapkan setiap malam, tak pernah absen meski aku lelah terkantuk-kantuk seusai belajar untuk ujian kelulusan SMA atau saat ujian semester akhir kuliah.

Beberapa lelaki datang dengan hujan. Sejenak hatiku bersorak, berharap salah satu dari mereka adalah jodohku. Namun, selalu mereka berkata bahwa aku adalah teman terbaik mereka. Tak pernah ada yang menginginkan aku lebih dari itu.

Ah, mawar putih. Bukankah pertanda jodohku tak sekedar hujan? Dia harus datang dengan hujan dan mawar putih. Aku menertawakan kebodohanku sendiri, betapa bodohnya aku berharap pada lelaki yang datang hanya dengan hujan.

Doa itu semakin sering kulafalkan. Tak hanya malam sebelum tidur, namun juga saat siang. Saat aku menunggu giliran membayar di kasir atau saat aku memandangi tukang tambal ban mencari lubang di ban sepeda motorku yang bocor. Doa itu juga yang menyibukkan mulutku saat aku menunggu giliran wawancara kerja di sebuah hotel di Ubud.

Hingga pada suatu pagi. Aku terburu-buru melintasi lobby hotel menuju ruanganku, saat seorang lelaki melangkah menghalangi jalan. Di pundaknya tersampir kotak rotan besar. Ia tersenyum lalu merogoh kotak rotannya. Bunga-bunga sepatu merah mengisi kotak itu separuhnya. Bunga-bunga itu tersibak saat tangan lelaki itu meraih sesuatu dari dasar kotak lalu menyorongkan tangannya ke arahku.

“Ini, buat kamu. Pagi ini ada yang mekar satu, lalu kupetik saja. Tamuku hanya perlu bunga sepatu.”

Lelaki itu berlalu tanpa memperdulikan aku yang terbengong-bengong memandangi bunga di tanganku. Bunga jempiring putih. Waktu seakan berhenti berdetak.

Ini bukan mawar putih. Bentuknya memang mirip mawar putih, tapi ini jauh lebih wangi. Lelaki itu jodohku kah?Jodoh yang lebih baik daripada yang aku minta? Tapi tak ada hujan. Mungkin bukan. Aku berusaha untuk tak berharap.

Namun, semakin lama, lelaki itu mulai berhasil mencuri perhatianku. Dia pandai membuatku tertawa. Diam-diam aku mulai mengaguminya. Wangi jempiring tetap bertahan dalam otakku meski kelopak-kelopaknya yang kering sudah berminggu-minggu yang lalu aku buang.

Hingga hari ini, hujan melengkapi pertanda jodohku. Akhirnya Tuhan mempertemukan aku dengan dia. Lelaki yang datang dengan hujan dan bunga yang jauh lebih wangi dari mawar putih.

“Sudah reda,” suaranya membuyarkan lamunanku.

“Hmm..iya,”kataku. Ada kecewa dalam hatiku ketika hujan mulai mereda.

                                                                 ***

Sudah beberapa hari ini aku tidak bisa makan. Jangankan makan, menelan air putih saja sulit. Aku meraba leherku yang bengkak, ini sudah yang kesekian kalinya lelaki itu berbuat kasar kepadaku.

Dicekiknya aku hingga leherku membiru. Tuhan masih menolongku. Tangannya terlepas saat tangis buah hatiku meledak. Setelahnya, lelaki itu akan memohon maaf bersujud dan menciumi wajahku. Sudah seperti ritual sejak awal pernikahan kami.

Tak kudengarkan suara-suara sumbang yang menyuruh aku untuk segera lepas dari lelaki ini. Pergi? Buat apa?

Pertengkaran dalam rumah tangga hal biasa. Lagipula, aku tak mau meninggalkan suamiku. Dia jodohku. Tuhan sudah sangat jelas memberikan aku pertanda. Jodohku adalah dia, satu-satunya lelaki yang datang padaku dengan hujan dan bunga yang jauh lebih wangi dari mawar putih.


Oleh: Ita Juman
Ita Juman adalah nama pena dari Ni Made Riasnita. Lahir di Bandung, 28 April 1981, Ita menghabiskan masa kecilnya berpindah-pindah kota dan sekarang tinggal di Bali. Ita kini pemilik dan sekaligus menjadi tenaga pengajar di tempat belajar privat Kelas Bunda. Hobi menulisnya semakin ditekuni sejak Ita ingin berbagi pengalamannya mengajar di Kelas Bunda. Karyanya pernah menjadi salah satu dari 100 tulisan terbaik yang dibukukan dalam buku Mari Bicara, yang diselenggarakan oleh Sariwangi. Ita dapat dihubungi melalui email: ita_juman@yahoo.com