Selasa, 13 September 2011

Wahai Engkau yang Melihatku


“Tante Ningrum lho Mak, kemaren bagi-bagi duit seratus ribuan ke orang-orang!” Nur berseru sambil tangannya mencocolkan lontong ke sambal pencit buatannya sendiri. Kakinya menendang-nendang, mengusir seekor induk ayam dan anak-anaknya yang tertarik pada remah lontong di bawah meja bambu tempatnya makan.

“Masa?” sahut Mamak, lantas melanjutkan, “Iyaa..kan tante Ningrum banyak duit. Om Tiar kan kerjanya di luar negeri. Emangnya kita, buat makan aja susah.“  Sang nenek yang dipanggil Mamak oleh Nur ini berjongkok menyodok-nyodok kayu bakar ke dalam tungku, berusaha mempertahankan bara untuk membakar sepotong terasi.

Sudah beberapa hari ini mereka harus masak dengan tungku jelaga.  Kompor gas mereka tak bisa dipakai. Anak perempuannya berkata bahwa sesuatu di kompor itu rusak. Karburator? rebulator? kalkulator? entah apa namanya. Padahal rasanya baru saja benda itu diganti. Biarlah dulu, pikirnya. Besok upah cuciku dibayar Bu Karim, dia sudah janji kepadaku. Besok akan aku beli yang baru.

“Tapi, tante Ningrum bilang, dia sedang gak ada uang, Mak. Dia bilang sendiri kemaren waktu ngajak aku ke ATM. Dia bilang, kalo gak punya uang, pinjem ke Allah aja. Caranya, kasih duit ke orang-orang.” Nur terbatuk, mendadak tenggorokannya terasa sangat panas. Sontak dia berlari ke dalam rumah mencari penawar pedas.  Hampir saja lututnya terbentur dinding sumur.

“Katanya gak punya duit, kok bagi-bagi uang seratus ribuan? Seratus ribu itu kan duit!” Mamak memicingkan matanya yang mulai terasa perih terkena asap tungku.

Nur hendak bicara lebih lanjut, tapi urung. Mamak tidak percaya hal-hal seperti itu. Percuma Nur bicara panjang lebar.

Tauk tuh Mak..” Dia menjawab sekenanya. Nur meminum airnya cepat-cepat, lalu melanjutkan makan siangnya.

Hari ini dia harus puas makan siang hanya dengan lontong dan sambal pencit. Pencitnya pun metik di pohon mangga di belakang bedeng mereka. Mamak bilang, dia tak ada uang. Upah mencucinya bulan ini belum dibayar oleh Bu Karim. Sebenarnya Mamak sudah terima upah dari Bu Lik, langganan cuci Mamak  di gang sebelah. Tapi, uang itu dipinjam ibu untuk biaya sekolah adik tirinya yang baru masuk sekolah dasar.

Kok susah sekali aku ini ya? Nur membatin.

Tante Ningrum bilang Allah Maha Melihat. Berarti Allah tau dong aku sedang susah.

Apa mungkin aku harus pinjemin uang ke Allah dulu? seperti tante Ningrum? Tante bilang, sedekah itu bayarannya beratus-ratus kali lipat.  Kontan lagi! Berarti kan, aku bisa dapat uang banyak!”

Nur teringat uang lima ribuan di kotak pensilnya. Uang itu hasil menjual kertas file binder ke teman-teman sekelasnya.

Kalau aku sedekah lima ribu, baliknya berapa ya? Wah, mungkin bisa dipake buat daftar sekolah madrasah di dekat kuburan itu ya? Aku ingin sekali pake jilbab. Kalau masuk sekolah itu, aku kan jadi punya alasan untuk pakai jilbab. Bisa belajar agama juga. Mamak mana tau soal agama. Aku aja gak pernah lihat Mamak sholat. Kenapa sih Mamak ngelarang aku pake jilbab? Kenapa sih Mamak gak mau sholat?, Pak Roqib bilang, orang yang gak sholat nanti siksa kuburnya berat. Aku gak tega sama Mamak kalau nanti dia harus disiksa.” Nur mendesah sedih.

“Nur! Kok ngelamun aja sih anak ini? Dipanggil-panggil dari tadi nggak nyahut-nyahut! Seneng ya, kupingnya dijewer? Mau lagi? Bawa sini ulekannya, Mamak mau makan!

Nur gelagapan, Ia tak mau telinganya jadi sasaran tangan Mamak. Bergegas dia menyorongkan ulekan itu.

***

Mamak terus mengayuh sepeda keranjangnya melawan terpaan angin malam. Sesekali ia memicingkan mata, sebab tak tahan sorotan lampu-lampu mobil yang bergerak berlawanan arah dengannya. Jemari tangannya yang pecah-pecah menarik rem sepeda.  Rem itu berdecit memperlambat putaran roda. Mamak menoleh ke belakang, memperhatikan kalau-kalau ada kendaraan lain di belakangnya saat ia hendak menyeberang. Di kejauhan terlihat olehnya jalan masuk ke rumah bu Karim. Tante Ningrum juga tinggal di jalan itu.

Seharian tadi dia bekerja di rumah bu Karim. Biasanya, dia hanya mencuci baju. Namun, hari ini dia mendapat pekerjaan tambahan. Mamak harus menyeterika juga. Baju-baju kotor yang menumpuk selama tiga hari itu baru selesai dicucinya menjelang tengah hari dan menjelang sore baru kering. Hari sudah gelap saat dia selesai menyeterika semua baju-baju itu. Mamak menggeliat. Pegal semua badanku, ujarnya dalam hati.

Terngiang kata-kata bu Karim kepadanya tadi sore, uangnya sekalian besok ya Mak, saya bayar sekalian sama ongkos nyeterika hari ini. Kan biasanya juga saya bayar tanggal 10.”

Mamak menghela nafas, berat. Pupus sudah harapannya untuk membawa pulang uang hari ini. Namun kemudian dia teringat wajah tante Ningrum yang berbinar-binar menerima beberapa pepaya darinya.  Mamak tahu tante Ningrum suka pepaya. Dia selalu memperhatikan bahwa tempat sampah tante Ningrum selalu terisi kulit pepaya dan biji-bijinya.

Pagi tadi sebelum berangkat, Mamak menyempatkan diri memetik beberapa pepaya di kebun belakang bedeng. Biasanya, pepaya-pepaya itu dia jual untuk sekedar menambah uang dapur. Tapi, cerita Nur kemarin siang membuatnya berniat memberikan pepaya-pepaya itu kepada tante Ningrum.

Semoga tante Ningrum mengingatku saat dia membagi-bagikan uang lagi,harapnya dalam hati.

Mamak terus mengayuh melintasi deretan warung penjual makanan. Aroma sate yang sedang dibakar, aroma nasi goreng, dan aroma bawang putih yang sedang ditumis seolah-olah bergantian menohok perutnya yang mulai terasa perih. Cepat-cepat diusirnya sebersit rasa sedih karena hari ini tak membawa uang sepeserpun. Ah,masih ada lontong di rumah, pikirnya. Yang penting kenyang!”

“Mamak!”  wajah Nur yang sumringah menyambutnya di depan pintu.

“Tadi ada orang, bapak-bapak, nyetop aku pas aku pulang sekolah. Aku dikasih uang, Mak! Banyak sekali!” Suara Nur melengking tinggi saking gembiranya.

“Segini Mak! Lima ratus ribu!.” Nur berjingkrak jingkrak.

Mamak menatap tak percaya lembaran-lembaran uang seratus ribuan di tangannya.  Nur memeluknya erat. Mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri dan meredakan pikiran-pikiran yang berlompatan dalam kepalanya.

“Tante Ningrum benar kan Mak? Ini pasti balasan dari Allah. Tadi siang aku ketemu tante Ningrum. Dia cerita kalau Mamak sudah ngasih dia pepaya.”

“Ini baru pepaya aja, kita sudah dibalas banyak sekali sama Allah,” lanjut Nur sambil terus memeluk Mamaknya.

“Mamak sholat ya.. Mamak sholat ya Mak..!

Mamak membisu dalam pelukan Nur. Bulir-bulir bening bergulir di pipinya.

***

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam sebulan, Nur tidur dengan perut kenyang dan hati tenang. Saat melewati kamar Mamaknya tadi, dia melihat Mamak mengambil mukena dan sajadah dari dalam lemari. Mukena dan sajadah itu hadiah dari bu Haji Imron saat lebaran tahun lalu. Masih bagus, karena tak pernah dipakai. Dia yakin kejadian barusan bisa membuka hati Mamak untuk sholat lagi.

Di kamar sebelah, Mamak mengusap-usap foto almarhum suaminya.

“Pak, hidupku berat sejak bapak tinggal pergi. Aku kerja banting tulang untuk nyekolahin Nur. Aku pingin dia jadi orang sukses, gak seperti aku. Tapi meski berat aku gak takut, Pak. Aku tau kau selalu melihat aku dari alam sana, selalu tau kalau aku lagi kesulitan. Terimakasih yo Pak, aku sudah Bapak kirimi duit..”

Mamak meletakkan foto itu kembali di atas meja lalu merapikan mukena dan sajadah yang sudah terbungkus plastik hitam.

“Besok, Tante Ningrum pasti senang kalau aku beri mukena dan sajadah ini. Toh juga tidak akan aku pakai. Semoga aku jadi orang pertama yang diingatnya saat dia bagi-bagi uang seratus ribuan nanti.”



Oleh: Ita Juman
Ita Juman adalah nama pena dari Ni Made Riasnita. Lahir di Bandung, 28 April 1981, Ita menghabiskan masa kecilnya berpindah-pindah kota dan sekarang tinggal di Bali. Ita kini pemilik dan sekaligus menjadi tenaga pengajar di tempat belajar privat Kelas Bunda. Hobi menulisnya semakin ditekuni sejak Ita ingin berbagi pengalamannya mengajar di Kelas Bunda. Karyanya pernah menjadi salah satu dari 100 tulisan terbaik yang dibukukan dalam buku Mari Bicara, yang diselenggarakan oleh Sariwangi. Ita dapat dihubungi melalui email: ita_juman@yahoo.com