Kamis, 20 Oktober 2011

FLP Bali Curhat Bersama Mbak Di


Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 5 – 9 Oktober 2011 lalu memiliki kesan tersendiri bagi kami. Walaupun tidak mengikuti festival penulis internasional tersebut, tapi kami cukup senang karena bisa bertemu dengan mbak Di, panggilan akrab Rahmadianti Rusdi dan Jaladara dari FLP Hongkong. Sekarang mbak Di menjabat sebagai Sekretaris Jenderal FLP Pusat.

Pada Jumat 7 Oktober 2011 dari Denpasar kami meluncur ke Ubud pukul 20.00 wita, memasuki Ubud jalanan mulai sepi. Tiba di pertigaan kami bingung, turunlah Fatkur—FLP Denpasar, untuk bertanya. Di pinggir jalan sepi, jadilah Fatkur masuk ke sebuah distro, hanya untuk menanyakan arah, hehe.

Melewati Monkey Forest jalanan berbelok menurun. Sampai pada kawasan art shop dan hotel kami bingung lagi karena baru pertama kali ke sana. Kembali bertanya, kali ini dengan supir taksi. Sempat memutar satu kali karena hotel tempat pertemuan dengan mbak Di terlewat. Ubud malam hari membuat kami terpana. Kerlap-kerlip lampu berwarna-warni, bangunannya pun nyeni, ada yang eksotis, glamour, tapi suasana tetap hening. Berbeda dengan Kuta, meski sama-sama banyak art shop-nya tapi kawasan art shop Ubud itu sepertinya memang disuasanakan kampung budaya. Persamaannya adalah di sana juga sudah mirip kampung bule. Ke mana mata memandang pasti terlihat bule, kebanyakan mereka berjalan kaki.

Sampai hotel tempat mbak Di menginap, kami menunggu beberapa saat karena mbak Di masih ada undangan makan malam. Sembari menunggu, foto-foto dulu dong.. Pas dekat hotel ada objek bagus untuk berfoto. Oriental-glamour gitu deh, seperti apa itu? Silakan diimajinasi sendiri, hehe. Akhirnya datang juga, dengan senyum cerianya mbak Di menyambut kami. Tidak lupa ia membawa camilan untuk teman ngobrol kami malam itu.
Cuma minum? Makannya?
Obrolan pun di mulai setelah membagi-bagikan minuman dan makanan ringan, hehe. Hal pertama yang disampaikan oleh ketua FLP Wilayah Bali, mbak Wiwid—Lailatul Widayati adalah seputar sekolah menulis. Di Bali program tersebut diberi nama Bali Writing School (BWS). Project pertama yaitu SMP IT Al-Banna, di sana tiap pekan anak-anak dilatih menulis oleh mbak Wiwid. Anak-anak tersebut sudah ada yang menghasilkan karya. Nah, kemudian mbak Di memberi saran, “Kumpulkan naskah anak-anak, nanti kirim ke pusat, kita asistensi, kita carikan tema, kemudian buatkan mereka buku antologi. Kan kita ada program PCPK (Penulis Cilik Punya Karya). Yang penting tulisan mereka ide ceritanya menarik, terus bisa merangkai plot, itu sudah cukup. Untuk masalah kebahasaan itu biar jadi urusannya editor,” sambil tertawa ringan.

Teman-teman banyak yang punya karya tapi tidak pede untuk diterbitkan. Lantas muncul pertanyaan, bolehkah membuat publisher indie untuk di FLP Bali? Boleh, tidak masalah kata mbak Di. Asalkan memenuhi beberapa syarat, yaitu ada dana dan pasarnya jelas.

Mengenai anggota-anggota FLP selain menulis, mereka bisa diarahkan ke editor, translator, desain, karikatur, sesuai spesialisasi masing-masing anggota. “Tapi tetap perlu diingat, FLP ini kaderisasinya lewat menulis. Kalau ada bakat-bakat yang menunjang, ya diarahkan saja karena itu nanti bisa membantu dalam proses penerbitan. Misal, untuk mengedit kita punya editor sendiri, untuk desain buku kita punya desainer sendiri. Jadi lebih hemat juga, gak perlu bayar orang lagi”, ujar mbak Di.

Mbak Di menyampaikan saat ini minat beli buku masyarakat trendnya kurang bagus. Minat baca masih tinggi akan tetapi mereka lebih suka pinjam di perpustakaan atau teman. Atau bahkan ada fenomena di beberapa toko buku, calon pembeli membaca buku di toko buku hingga selesai sehingga dia tidak jadi membeli. Siasat untuk mengurangi budget bulanan. Padahal buku itu investasi, yang akan terus berguna sampai nanti, tidak hanya ketika dia membaca buku itu di toko buku.

Ada satu hal menarik terkait menulis. Saat ini terlihat FLP-ers sibuk menulis sehingga ada ruang ‘agak melupakan membaca’. Maka, kata mbak Di kita juga jangan lupa mengadakan bedah buku-bedah buku di samping pelatihan menulis. Logikanya seperti ini, ketika semua sibuk menulis, lantas siapa yang akan mebaca tulisan kita? Maka dari bedah buku-bedah buku tersebut kita akan menciptakan masyarakat pembaca kita.

Dalam pertemuan itu juga dibahas rencana launching Bali Writing School (BWS). Mbak Di memberikan usulan ketika launching diadakan workshop menulis cerita. Malam kian larut, tidak terasa sudah pukul 23.00 wita. Padahal (perasaan) ngobrolnya baru sebentar, belum semua kami kupas habis. Dari obrolan malam itu dapat disimpulkan pekerjaan rumah FLP Bali masih banyak. Perlu visi kuat untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, merealisasikan mimpi-mimpi, di tengah padatnya aktivitas para pengusung FLP Bali. SemangkA (semangat karena Allah) teman!
Oleh: Mara Amalia
Dilahirkan dengan nama Amalia Mardini. Saat ini Mara Amalia masih bergabung di salah satu lembaga zakat di Bali sebagai jurnalis. Sembari terus merangkai puzzle mimpinya untuk menjadi pengusaha. Lahir dan menghabiskan masa kecil hingga sekarang di pulau kecil nan elok, Bali. Perjalanan ke luar kota, pengalaman organisasi, dan orang-orang terdekat masih menjadi inspirasi besarnya untuk menulis.